
Mesin-mesin tersebut merupakan produk impor dari Swedia dan kini tidak lagi didukung produsen awalnya.
“Mesin parkir elektronik itu kalau mau diperbaiki, sekarang sparepart-nya enggak ada. Karena barang ini kan diimpor dari Swedia,” ujar Kepala Dinas Perhubungan Jakarta Syafrin Liputo di Balai Kota, Senin (28/4/2025).
Kerja sama dengan pihak penyedia, yaitu ATP, telah berakhir sejak tahun 2016. Hal ini memperparah masalah pasokan suku cadang.
“Begitu dalam kurun waktu sejak 2016 si ATP-nya tidak berlanjut sehingga kami kesulitan untuk sparepart-nya,” tambah Syafrin.
Apa dampaknya terhadap pendapatan daerah?
Kerusakan mesin TPE menyebabkan penurunan drastis pendapatan parkir Pemprov DKI Jakarta. Dari 201 mesin yang tersebar di 31 ruas jalan, hanya 64 unit yang masih aktif. Sisanya, 137 unit, tidak lagi berfungsi.
“Saat ini banyak TPE yang sudah tidak berfungsi,” kata Kepala Unit Pengelola Perparkiran Dinas Perhubungan Jakarta Adji Kusambarto, dikutip dari Antara, Selasa (22/4/2025).
Pendapatan dari sektor parkir melalui TPE yang sebelumnya sempat mencapai Rp 18 miliar per tahun, turun menjadi hanya Rp 8,9 miliar pada tahun 2024.
Bagaimana rencana solusi dari Dishub Jakarta?
Pemerintah Provinsi Jakarta saat ini tengah mengganti mesin-mesin TPE yang rusak dengan perangkat baru yang menggunakan komponen dari dalam negeri.
“Uji coba sudah kami lakukan di Jalan Sabang dan Jalan Agus Salim. Kami harap bisa mengganti total sebanyak 200 mesin yang ada di Jakarta, tersebar di lima wilayah,” jelas Syafrin.
Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor serta mempercepat proses perbaikan.
“Kami butuh 200 unit baru dengan anggaran lebih dari Rp 19 miliar,” ungkap Adji.
Apa tanggapan dari DPRD Jakarta?
Kerusakan ratusan mesin TPE menuai kritik dari DPRD Jakarta. Anggota Panitia Khusus (Pansus) Perparkiran Francine Widjojo menilai Dishub Jakarta harus bertanggung jawab karena pembelian mesin menggunakan uang rakyat.
“Harga mesin parkir di Jakarta itu tidak bisa dibilang murah dan dibeli menggunakan pajak yang dipungut dari warga,” ujar Francine.
Ia juga mengaku heran dengan praktik parkir di lapangan. Menurutnya, keberadaan mesin TPE tidak dimanfaatkan maksimal dan justru membuka peluang kecurangan.
“Saya pernah parkir di ruas jalan yang ada mesin TPE-nya, tapi petugas tidak pernah minta saya pakai mesin itu. Bahkan saya dikenai tarif yang tidak semestinya,” ujarnya.